Minggu, 29 Mei 2011

Taenia Saginata

0 komentar


   Nama lain
Cacing pita Sapi (the beef tapeworm)
                  Distribusi Geografis
Infeksi cacing pita Taenia tertinggi di Indonesia terdapat di daerah Papua.Di Kabupaten Jayawijaya Papua, Indonesia ditemukan 66,3% (106 orang dari 160 responden) positif menderita taeniasis solium/sistiserkosis selulosae dari babi. Sementara 28,3% orang adalah penderita sistiserkosis yang dapat dilihat dan diraba benjolannya di bawah kulit. Sebanyak 18,6% (30 orang) di antaranya adalah penderita sistiserkosis selulosae yang menunjukkan gejala epilepsi. Dari 257 pasien yang menderita luka bakar di Papua, sebanyak 82,8% menderita epilepsi akibat adanya sistiserkosis pada otak. Prevalensi sistiserkosis pada manusia berdasarkan pemeriksaan serologis pada masyarakat Bali sangat tinggi yaitu 5,2% sampai 21%, sedangkan prevalensi taeniasis di provinsi yang sama berkisar antara 0,4%-23%.  Sebanyak 13,5% (10 dari 74 orang) pasien yang mengalami epilepsi di Bali didiagnosa menderita sistiserkosis di otak. Prevalensi taeniasis T. asiatica di Sumatera Utara berkisar 1,9%-20,7%. Kasus T. asiatica di Provinsi ini umumnya disebabkan oleh konsumsi daging babi hutan setengah matang.
           Morfologi
Telur berukuran 30-40 mikron x 20-30 mikron, berwarna coklat tengguli dimana lapisan embrioforenya bergaris-garis radier dan di dalamnya terdapat hexacanth embrio.
Proglotid gravid berukuran 16-20 x 5-7 mm,dengan cabang uterus berjumlah 15-30 buah tiap sisi dimana uterus gravid ini mengandung 80.000 – 100.000 butir telur. Lubang kelamin atau porus genitalis terletak di sebelah lateral dan letaknya berselang-seling di kanan dan kiri strobila. Di bagian posterior lubang kelamin, dekat dengan vas deferens, terdapat tabung vagina yang berpangkal pada ootid.
Cacing dewasa mempunyai ukuran panjang 5-10 meter. Cacing ini terdiri atas scolex, leher, dan strobila. Scolex berbentuk piriform berukuran 1-2 mm di lengkapi dengan 4 batil isap yang menonjol dan strobila terdiri atas 1000-2000 proglotid atau segmen dimana makin ke distal proglotid semakin matang

     Siklus hidup

Siklus hidup Taenia sp.
Sebuah proglotid gravid berisi kira-kira 100.000 buah telur. Pada saat proglotid terlepas dari rangkaiannya dan menjadi koyak, terdapat cairan putih susu yang mengandung banyak telur mengalir keluar dari sisi anterior proglotid tersebut, terutama jika proglotid berkontraksi pada saat bergerak. Telur-telur ini akan melekat pada rumput bersama dengan tinja, bila orang berdefekasi di padang rumput atau karena tinja yang hanyut dari sungai pada saat banjir. Ternak yang makan rumput ini akan terkontaminasi dan dihinggapi cacing gelembung, karena telur yang tertelan bersama rumput tersebut akan dicerna dan embrio heksakan akan menetas di dalam tubuh ternak. Embrio heksakan yang menetas di saluran pencernaan ternak akan menembus dinding usus, masuk ke saluran getah bening atau darah dan ikut dengan aliran darah ke jaringan ikat di sela-sela otot untuk tumbuh menjadi cacing gelembung yang disebut sistiserkus bovis, yaitu larva Taenia saginata yang terbentuk setelah 12 s.d. 15 minggu.
Bila cacing gelembung yang ada di otot hewan ini termakan oleh manusia, karena proses pemasakan yang tidak atau kurang matang, maka skolexnya akan keluar dari cacing gelembung dengan cara evaginasi. Skolex akan melekat pada mukosa usus halus seperti jejunum. Cacing Taenia saginata dalam waktu 8 s.d. 10 minggu akan menjadi dewasa.Telur dilepaskan bersama proglotid atau tersendiri melalui lubang uterus. Embrio di dalam telur disebut onkosfer berupa embrio heksakan yang tumbuh menjadi bentuk infektif dalam hospes perantara. Infeksi terjadi jika menelan larva bentuk infektif atau menelan telur. Pada Cestoda dikenal dua ordo, yang pertama Pseudophyllidea dan yang kedua adalah Cyclopyllidea.
                   Gejala klinis
Gejala yang sering muncul pada penderita cacing pita Cestoda adalah perut mulas tanpa sebab, nafsu makan menurun, mual, kekurangan gizi, berat badan menurun. Telur cacing pita babi bisa menetas di usus halus, lalu memasuki tubuh atau struktur organ tubuh., sehingga muncul penyakit Cysticercosis, cacing pita cysticercus sering berdiam di jaringan bawah kulit dan otot, gejalanya mungkin tidak begitu nyata ; tetapi kalau infeksi cacing pita Cysticercus menjalar ke otak, mata atau ke sumsum tulang akan menimbulkan efek lanjutan yang parah.Infeksi oleh cacing pita genus Taenia di dalam usus biasanya disebut Taeniasis. Ada dua spesies yang sering sebagai penyebab-nya, yaitu Taenia solium dan Taenia saginata. Menurut penelitian di beberapa desa di Indonesia, angka infeksi taenia tercatat 0,8–23%., frekuensinya tidak begitu tinggi. Namun demikian, cara penanganannya perlu mendapat perhatian, terutama kasus-kasus taeniasis Taenia solium yang sering menyebabkan komplikasi sistiserkosis.Cara infeksinya melalui oral karena memakan daging babi atau sapi yang mentah atau setengah matang dan me-ngandung larva cysticercus. Di dalam usus halus, larva itu menjadi dewasa dan dapat menyebabkan gejala gastero- intestinal seperti rasa mual, nyeri di daerah epigastrium, napsu makan menurun atau meningkat, diare atau kadang-kadang konstipasi. Selain itu, gizi penderita bisa menjadi buruk se-hingga terjadi anemia malnutrisi. Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan eosinofilia. Semua gejala tersebut tidak spesifik bahkan sebagian besar kasus taeniasis tidak menunjukkan gejala (asimtomatik).
Cacing dewasa Taenia saginata biasanya menyebabkan gejala klinis yang ringan, seperti sakit ulu hati, perut merasa tidak enak, mual, muntah, mencret, pusing atau gugup. Gejala-gejala tersebut disertai dengan ditemukannya proglotid cacing yang bergerak-gerak lewat dubur bersama dengan atau tanpa tinja. Gejala yang lebih berat dapat terjadi, yaitu apabila proglotid menyasar masuk apendiks, atau terdapat ileus yang disebabkan obstruksi usus oleh strobilla cacing. Berat badan tidak jelas menurun. Eosinofilia dapat ditemukan di darah tepi. Meskipun infeksi ini biasanya tidak menimbulkan gejala, beberapa penderita merasakan nyeri perut bagian atas, diare dan penurunan berat badan. Kadang-kadang penderita bisa merasakan keluarnya cacing melalui duburnya.
                          Diagnosa
Diagnosa ditegakkan dengan ditemukannya proglotid gravid atau telur dalam tinja atau daerah perianal dengan cara swab. Telur sukar dibedakan dengan telur taenia solium. Proglotid gravidnya kemudian dapat diidentifikasi dengan merendamnya dalam cairan laktofenol sampai jernih sehingga dengan mudah dibedakan berdasarkan jumlah cabang lateral uterus atau scolexnya yang tidak mempunyai kait-kait.   
          Pencegahan 
Cara untuk mencegah agar tidak menderita gangguan yang disebabkan oleh Taenia saginata antara lain sebagai berikut :
  • Tidak makan makanan mentah (sayuran,daging babi, daging sapi dan dagiikan), buah dan melon dikonsumsi setelah dicuci bersih dengan air. 
  •   Minum air yang sudah dimasak mendidih baru aman. 
  •  Menjaga kebersihan diri, sering gunting kuku, membiasakan cuci tangan menjelang makan atau sesudah buang air besar.     
  •   Tidak boleh buang air kecil/besar di sembarang tempat, tidak menjadikan tinja segar sebagai pupuk; tinja harus dikelola dengan tangki septik, agar tidak mencemari sumber air.    
  •     Di Taman Kanak Kanak dan Sekolah Dasar harus secara rutin diadakan pemeriksaan parasit, sedini mungkin menemukan anak yang terinfeksi parasit dan mengobatinya dengan obat cacing. 
  •    Bila muncul serupa gejala infeksi parasit usus, segera periksa dan berobat ke rumah sakit. 
  •   Meski kebanyakan penderita parasit usus ringan tidak ada gejala sama sekali, tetapi mereka tetap bisa menularkannya kepada orang lain, dan telur cacing akan secara sporadik keluar dari tubuh bersama tinja, hanya diperiksa sekali mungkin tidak ketahuan, maka sebaiknya secara teratur memeriksa dan mengobatinya.




Hepatitis B

0 komentar
Virus Hepatitis B (HVB), termasuk Hepadnavirus, berukuran 42-nm double stranded DNA virus dengan terdiri dari nucleocapsid core (HBc Ag) berukuran 27 mm, dikelilingi oleh lapisan lipoprotein di bagian luarnya yang berisi antigen permukaan (HBsAg). HBsAg adalah antigen heterogen dengan suatu common antigen yang disebut a, dan dua pasang antigen yang mutually exclusive yaitu antigen d, y, dan w (termasuk beberapa subdeterminan) dan r, yang menghasilkan 4 subtipe utama: adw, ayw, adr dan ayr. Penyebaran subtipe-subtipe ini bervariasi secara geografis; dikarenakan oleh perbedaan a determinan common antigen, perlindungan terhadap satu subtipe muncul untuk merangsang perlindungan terhadap subtipe yang lain dan tidak ada perbedaan manifestasi gejala klinis pada subtipe yang berbeda.


Virus Hepatitis B tampak dibawah mikroskop elektron sebagai partikel dua lapis berukuran 42 nm yang disebut partikel Dane. Lapisan luar virus ini terdiri atas antigen, yang disebut HbsAg. Antigen permukaan ini membungkus bagian dalam virus yang disebut partikel inti atau core. Partikel inti ini berukuran 27 nm dan dalam darah selalu terbungkus oleh antigen permukaan. Sedangkan antigen permukaan selain merupakan pembungkus patikel inti, juga terdapat dalam bentuk lepas berupa partikel bulat berukuran 22 nm dan partikel tubular yang berukuran sama dengan panjang berkisar antara 50 – 250 nm. 

Penularan
Semula penularan virus Hepaitis B diduga hanya secara parental, tetapi kenyataannya berbeda. Penularannya tidak saja hanya kontak langsung dengan serum penderita, akan tetapi juga tidak langsung melalui alat, hubungan intim atau kontak seksual, melalui saliva misalnya bercium – ciuman dan juga penularan vertical dari ibu penderita pengidap penyakit ke anak yang dikandungannya. Orang yang mempunyai resiko tinggi lainnya yang mudah tertular adalah mereka yang karena pekerjaannya sering berhubungan dengan darah atau penderita yang sedang terinfeksi Virus Hepatitis B juga mereka yang hidup serumah dengan penderita yang terinfeksi oleh Virus Hepatitis B.




Patogenesis
Apabila seseorang terinfeksi virus hepatitis B akut maka tubuh akan memberikan tanggapan kekebalan (immune response). Ada 3 kemungkinan tanggapan kekebalan yang diberikan oleh tubuh terhadap virus hepatitis B pasca periode akut. Kemungkinan pertama, jika tanggapan kekebalan tubuh adekuat maka akan terjadi pembersihan virus, pasien sembuh. Kedua, jika tanggapan kekebalan tubuh lemah maka pasien tersebut akan menjadi carrier inaktif. Ketiga, jika tanggapan tubuh bersifat intermediate (antara dua hal di atas) maka penyakit terus berkembang menjadi hepatitis B kronis. Pada kemungkinan pertama, tubuh mampu memberikan tanggapan adekuat terhadap Virus Hpatitis B (VHB), akan terjadi 4 stadium siklus VHB, yaitu fase replikasi (stadium 1 dan 2) dan fase integratif (stadium 3 dan 4). Pada fase replikasi kadar HBsAg, DNA VHB, HBeAg, AST dan ALT serum akan meningkat, sedangkan kadar anti-HBs dan anti HBe masih negatif. Pada fase integratif (khususnya stadium 4) keadaan sebaliknya terjadi, HBsAg, DNA VHB, HBeAg dan ALT/AST menjadi negatif/normal, sedangkan antibodi terhadap antigen yaitu : anti HBs dan anti HBe menjadi positif (serokonversi). Keadaan demikian banyak ditemukan pada penderita hepatitis B yang terinfeksi pada usia dewasa dimana sekitar 95-97% infeksi hepatitis B akut akan sembuh karena imunitas tubuh dapat memberikan tanggapan adekuat. Sebaliknya 3-5% penderita dewasa dan 95% neonatus dengan sistem imunitas imatur serta 30% anak usia kurang dari 6 tahun masuk ke kemungkinan ke dua dan ke tiga ; akan gagal memberikan tanggapan imun yang adekuat sehingga terjadi infeksi hepatitis B persisten, dapat bersifat carrier inaktif atau menjadi hepatitis B kronis.


Gejala Klinis
Secara khusus tanda dan gejala terserangnya hepatitis B yang akut adalah demam, sakit perut dan kuning (terutama pada area mata yang putih/sklera). Namun bagi penderita hepatitis B kronik akan cenderung tidak tampak tanda-tanda tersebut, sehingga penularan kepada orang lain menjadi lebih beresiko.



Diagnosis
Pemeriksaan imunologi hepatitis B secara laboratorium memegang peranan penting untuk menegakkan diagnosis maupun pemantauan terapi hepatitis B. HBsAg merupakan antigen permukaan yang terdapat dalam darah seseorang yang terinfeksi virus hepatitis B, sehingga untuk mengetahui sejauh mana keberadaan virus hepatitis B dalam tubuh dapat dilakukan pemeriksaan HbsAg.
Cara pemeriksaan HbsAg yang sekarang umum dilakukan adalah cara RPHA/PHA, ELISA dan RIA. Cara RPHA/PHA masih kurang sensitif dibanding dengan cara ELISA dan RIA, sehingga untuk mendeteksi petanda serologik yang kadarnya rendah seperti HBeAg, anti Hbe dan anti HBc dipakai cara ELISA dan RIA. Salah satu format pemeriksaan deteksi antigen yang lebih baru, dikenal sebagai Imunochromatography Assay.
Pemeriksaan HbsAg menggunakan rapid imunochromatography assay untuk mendeteksi secara kualitatif adanya Hepatitis B Surface Antigen dalam serum atau plasma secara in vitro secara cepat, mudah dan praktis.